Ketika Surgaku Berpindah (Part:How we met)

Ketika surgaku berpindah

[dropcap style=”2″ size=”3″]R[/dropcap]uas-ruas jalan yang ramai itu masih lekat dalam benakku hingga kini. Hingar bingar cahaya lampu yang terpancar dari kendaraan yang melintasi jalan ibu kota itu tampak berpendar menyambut senja. Rasio kendaraan dan ukuran jalan yang tidak sepadan membuat laju kendaraan mobil  yang kami tumpangi tidak lebih cepat dari arus pejalan kaki yang melintas di bahu jalan. Siapa tidak kenal Jakarta pikirku.  Pemandangan khas yang sudah melekat dalam masyarakat dan membuatku tidak lagi tercengang.  Tidak pernah terlintas dalam benak saat itu bahwa berpuluh-puluh kilometer dari tempat kami berada, sahabat baikku sedang menjalankan sebuah misi yang kini kusadari telah membawa perubahan besar dalam hidup.

***

“Berapa lama lagi kita sampai di Bogor, Pa?” tanyaku kepada ayah dibalik ketidakpastiaan kemacetan lalu lintas yang menghadang perjalanan kami menuju Bogor.

“Seharusnya kalau lancar hanya 1 jam, tapi kalau macet seperti ini tidak bisa diprediksi, berdoa saja supaya lancar” seperti biasa ayah selalu punya jawaban diplomatis untuk setiap pertanyaan yang aku lontarkan.

Aku hanya bisa menghela nafas panjang melihat volume kendaraan yang terus meningkat dari hari ke hari. Ayah benar, mungkin untuk saat ini yang bisa kami lakukan hanyalah menunggu dan berdoa.

Sudah 1 jam berlalu. Sama halnya dengan pemandangan terlihat dari balik jendela mobil kami, jarak yang kami tempuh dari awal perjalanan 1 jam yang lalu tidak banyak berubah. Jalan Masih tetap padat. Suara dering dari telepon genggam ayah tiba-tiba memecah keheningan dalam mobil kami. Ayah yang mulanya terlihat santai menjawab telepon itu kemudian terlihat sedikit mengerutkan dahi. “Loh, roket yang mana yang sudah diluncurkan?” jawab ayah menanggapi suara dalam telepon genggamnya. Sesaat kemudian ayah tersenyum-senyum dan terlihat sedikit menahan tawa.

“Siapa yang menelepon, Pa?” aku bertanya dengan muka antusias.

Hehe, itu sahabatmu lucu sekali menelpon Papa.” Jawab ayah masih menahan senyum.

He?” kali ini aku benar2 tercengang. Ada apa sahabatku menelpon ayah dan menanyakan peluncuran roket? Sungguh tidak masuk akal pikirku. Ayah kemudian menyampaikan nama sahabat yang baru saja menelponku. Tentu aku tidak asing dengan sahabat baikku itu.

“Sahabatmu cerita ke ayah, dia tadi berinisiatif meluncurkan roket untuk langsung berbicara dengan…”

“Haaah?”  Aku tercengang dan kaget setengah mati mendengar nama orang itu disebut. Ternyata istilah peluncuran roket adalah kiasan yang dipakai sahabatku untuk menyatakan bahwa misi yang Ia lancarkan telah berbuah hasil. Pikiranku tiba2 melayang ke sosok pemuda yang ayah sebutkan di akhir kalimatnya tadi.  Nama yang disadur dari bahasa arab dan berarti ‘bahagia’. Sahabatku bertemu dengannya? Untuk apa? Tidak mungkin, mereka tidak saling mengenal pikirku. Ini tidak mungkin terjadi. Jangan-jangan?…

Tanpa pikir panjang aku melepaskan earphone yang kukenakan  dan menghubungi teman baikku itu. Mendengarnya, sahabatku hanya tertawa terpingkal-pingkal sedang aku panik setengah mati. Ia kemudian berkata, “Waktu cerita tentang Medri dia mengangguk tapi dia tidak tahu apakah benar Medri orang yang akan menjadi pendamping hidupnya di yaumul akhir nanti, jadi Ia minta waktu satu minggu untuk sholat istikharah untuk menanyakan kepada Allah dan pulang untuk meminta izin ayah ibunya.”

Saya hanya bisa diam dan tercengang. Satu minggu untuk memutuskan apakah ia akan menjadi pendamping hidup adalah waktu yang singkat bukan? Bahkan sebelumnya kami jarang bertegur sapa. Tapi begitulah, ia percaya pada Allah dan doa orang tua. Maka 1 minggu kemudian ia datang kerumah langsung bertemu orang tua saya bersama sahabat saya yang masih tertawa-tawa karena misinya sukses besar. Ia bahkan tidak memberitahu saya tentang itu.

Alhamdulillah ayah ibu sangat senang dan menyambut baik kedatangannya, sangat salut dengan akhlak santunnya untuk meminta izin ayah ibu terlebih dahulu. Saya hanya diam saat itu malu sekali rasanya namun sangat bahagia. Benar kata Rosulullah SAW bahwa nama adalah do’a. Ternyata namanya telah benar-benar membawa kebahagiaan bagi keluarga kami.  Ayah kemudian memberi wejangan-wejangan agar kelak kami bisa saling mendukung satu sama lain dalam hal studi dan sebagainya. Tidak lama setelah pertemuan dengan orang tua pada tanggal 8 Maret 2010, saya harus meninggalkan tanah air untuk melanjutkan studi.  Sebelum menikah justru ayah dan ibu-lah yang lebih sering bertemu dengannya. Ia kadang membantu ayah menyiapkan presentasi, atau sekedar datang kerumah mengaji dan menemani Ibu. Rasanya kalau ingat hal ini saya sangat terharu. Kadang saya dengar dari ayah, ia bahkan pernah tertidur di depan laptop ayah karena membantu ayah hingga malam. Sering juga ibu bercerita bahwa ibu senang ada yang menemaninya mengaji dan mengantarnya belanja. Seperti punya anak lagi kata Ibu.  Rasanya ingin menangis jika dengar itu, sungguh ia sangat tulus membantu ayah-ibu saya, padahal saya tidak berada di sana.

Melihat kesantuanan akhlaknya, saat pulang pada liburan akhir tahun di kampus, ayah ibu memutuskan menikahkan kami tahun itu. Saya tidak sempat banyak membantu karena saya hanya 2 minggu di Indonesia dan kemudian pulang lagi ke tempat studi saya di Canberra. Luar biasa senangnya mendengar rencana ayah-ibu tersebut. Dua minggu kemudian saya pulang ke Canberra dan tahu bahwa saat Juli nanti akan berlangsung pernikahan kami. Maka Alhamdulillah satu minggu sebelum tanggal pernikahan kami saya pulang, dan akhirnya menikah. Semuanya terasa begitu cepat, dan Alhamdulillah kini ia bisa berada bersama saya di Canberra menemani sekolah. Saya sangat jarang bertemu dengannya sebelum menikah tapi Alhamdulillah bisa terus berada dengannya hingga kini. Mahasuci Allah dengan segala rencana indahnya yang mempertemukan saya dengannya.  Alhamdulillah.

Medria – Ketika surgaku berpindah

Ya Tuhaku, jadikan aku dan keturunanku orang-orang yang tetap mendirikan shalat; ya Tuhan kami terimalah doaku. (QS:Ibrahim:40) -Kaligrafi yang dibuat oleh M.Saad Nurul Ishlah, pemberikan saat akad nikah 23 Juni 2011-

 

8 Replies to “Ketika Surgaku Berpindah (Part:How we met)”

  1. Kakaaaaaak ya Allah terharu banget bacanya :). Jodoh beneran di tangan Allah ya kak, hanya yang baik untuk yang baik, kak Medri emang pantes kalo jadi jodohnya kak Saad. Semoga bahagia selamanya yah 🙂

    1. Aamiin makasih ya Woro. Semoga nanti Woro dan Rafdi jg dipermudah jalan menuju kesananya ya 🙂 Bismillah! Moga2 jg suatu saat nanti kita bisa ketemu dan kumpul-kumpul bareng lagi di Indonesia:D!

    1. Makasih ya Tara sudah mampir, ok nanti aku sampaikan salamnya ke Saad. Sama2 makasih ya doanya jg, doa yang sama utk Tara jg, smg sehat2 dan tcapai apa yg diimpikan 😀 Btw, long time no see. Apa kabar Tara? Dimana sekarang?

  2. Baru baca, terharu..dan senyum-senyum sendiri alhamdulilah smuanya lancar smoga allah senantiasa mempersatukan kalian dunia dan akhirat aminnn

    1. Wah tokoh yg disebut2 di cerita ini akhirnya muncul jg hehe Aamiin, Terimakasih banyak ya Nida, semoga loe, Kienan dan Mas Sugy sehat2 selalu. 🙂

    1. @Ryuhai, terimakasih sudah mampir ke sini. Yung 🙂 Aamiin, alhamdulillah terimakasih ya Yung, insyaAllah cerita Iyung nanti jauh lebih indah dari kami :D. Aamiin

Leave a Reply