Oleh Medria Hardhienata
10.40 Ujian Matematika berlangsung
Satu persatu murid berseragam putih-biru yang mengikuti ujian matematika itu melangkahkan kaki menuju meja guru untuk mengumpulkan berkas ujian. Sesekali terlihat langkah mereka terhenti, sekedar memeriksa kembali nama mereka atau memastikan nomor siswa yang mereka cantumkan tidak tertukar dengan nomor siswa lain. Beberapa meter dari sudut ruangan dari gedung tua itu, seorang murid tampak sibuk berkutat dengan soal ujian, membolak-balikkan kertas, memastikan tidak ada soal yang terlewat, dan kembali memeriksa apakah jawaban yang tertulis di kertas putih itu sudah benar. Murid itu adalah saya 12 tahun yang lalu.
Seperti biasa, saya tidak pernah masuk ke dalam daftar barisan utama murid-murid yang menyelesaikan ujian di awal waktu. Selalu teringat pesan Ibu untuk setidaknya dua kali memeriksa kembali jawaban yang tertulis, terlebih jika ujian tersebut menyangkut berbagai kalkulasi rumit yang membututhkan tingkat ketelitian yang tinggi.
“Waktu yang tersisa saat ini hanya 15 menit lagi,” suara seorang guru berkemeja putih yang kontras dengan warna papan tulis yang hitam legam itu membuat para siswa tiba-tiba terhentak, panik. Beberapa murid bahkan tampak pasrah mengumpulkan berkas ujian dengan jawaban alakadarnya.
Merasa sudah yakin dengan jawaban yang tertulis sekaligus jenuh melihat angka-angka yang terus berputar memenuhi pikiran, saya bergegas mengumpulkan berkas ujian sebelum sang guru mengetukkan kapur papan tulis bertanda waktu ujian telah usai.
Di luar ruang kelas itu, tampak kerumunan murid yang sibuk membahas setiap soal sembari menyamakan jawaban yang mereka tuliskan. Jenis kerumunan seperti ini adalah tempat yang pertama kali saya hindari selepas ujian. Sementara waktu lebih baik berasumsi bahwa ujian telah selesai dilakukan dengan jawaban yang tidak tahu benar atau salah. Itu jauh lebih baik daripada mengingat-ingat kembali jawaban yang salah, dan menjadikan saya lebih stres nantinya He2. Begitu pikir saya waktu itu.
Berseberangan dengan suara batin, pikiran saya masih saja spontan berputar mengembalikan setiap detail jawaban yang tertulis di lembar ujian. Penelitian yang membuktikan bahwa seusai ujian kinerja otak menjadi lebih santai dan dalam keadaan demikian kemampuan berfikir akan menjadi berlipat-lipat lebih baik ternyata benar adanya. Hal ini pula yang kemudian menyadarkan saya bahwa 2 soal yang saya kerjakan ternyata tidak tepat dan akibatnya kalkulasinya yang telah saya kerjakan menjadi salah total! Sayup-sayup terdengar suara kawan kami yang berteriak bahagia karena hasil yang Ia kerjakan sama dengan jawaban mayoritas teman-teman lain. Saya hanya tertunduk lesu.
Sepanjang perjalanan pulang pikiran ini terus melayang menyalahkan diri sendiri mengapa bisa seceroboh itu. Mengapa tadi tidak melakukan ini, kenapa tidak meluangkan waktu lebih banyak lagi untuk memeriksa ulang, dan puluhan mengapa dan kenapa lainnya. Pulang dengan wajah setengah pucat, tempat tidur adalah kawan sejati saya untuk melepas lelah. Meski bayangan soal ujian dan suara yang menyalahkan diri sendiri terus bergema di dalam pikiran. Kenapa saya selalu begitu ceroboh?
19.00 Jam makan malam tiba
Seperti biasa, setiap jam makan malam tiba, kami selalu meluangkan waktu untuk makan bersama. Tradisi ini terus kami lakukan karena jam-jam ini adalah salah satu waktu terbaik untuk mengobrol bersama diluar rutinitas kami di luar rumah. “Ade, makan,” suara ibu dari kejauhan memanggil saya yang masih terdiam di kamar terkapar persis seperti prajurit yang pulang kalah bertempur diiringi bendera putih.
Dengan setengah enggan saya membuka pintu dan menuju ruang makan. Terlihat kakak dengan antusias sudah terlebih dahulu melahap makanannya. Walau Ia lelah bermain bola sehabis pulang sekolah tadi, wajahnya selalu tampak riang dan penuh semangat. Sangat kontras dengan adiknya! Saya yang hampir selalu duduk bersebelahan dengan teman bermain saya sejak kecil itu tidak lama mengambil nasi dan meletakkannya di dalam piring.“Psst, Ade tahu tidak, Kakak baru ditransfer untuk main bola untuk tim kelas lain, mereka mau membayar kakak lho untuk itu! “ bisikan suara kakak tiba-tiba mengalihkan pandangan saya dari semangkuk sop yang telah ibu sediakan. “ He?” saya tampak tidak terlalu antusias, tapi saya akui kelihaiannya dalam bermain bola memang sudah kami amati sejak kecil. Tidak saja karena ayah dulu juga gemar bermain bola saat remaja, tapi juga karena Ia sudah dimasukkan ke tim sepak bola khusus anak-anak sejak usia dini.
“Tahu tidak mereka bahkan mau membayar untuk dapat mentransfer Kakak agar mau main di timnya, ga main-main ini haha” mukanya tampak begitu bahagia seakan-akan Ia sudah layak disejajarkan dengan pemain dunia sekelas Luis Figo yang saat itu akan dibeli Real Madrid dari tim raksasa Barcelona. “Dibayar berapa Kakak untuk main di tim itu?” meski mood saya belum 100% pulih, hal-hal yang berhubungan dengan sepak bola selalu membuat saya kembali antusias. “5000 rupiah! Keren kan?” kali ini suaranya semakin lantang dan mukanya tampak begitu yakin memastikan bahwa saya akan kagum mendengar jawabannya. Ketawa kami di meja makan itu meledak. Saya tidak sanggup menahan tawa. Lima ribu rupiah bukanlah jumlah yang besar dikala itu. Cukup dibelikan semangkok baso di Gang Selot yang terkenal di sekolah kami di tambah jus jeruk dan uang itu akan habis seketika tidak bersisa atau mungkin malah kurang! Sesaat saya tertawa dan bayangan akan kegelisahankan soal ujian itu pun pudar menghilang. Namun beberapa saat kemudian, gambaran 2 soal ujian yang saya jawab dengan tidak logis saat ujian kembali terbayang dan muka ini kembali muram.
“Muka lesu gitu terus, ceria dikit kenapa,” Kakak mendadak menepuk pundak dan membuat saya hampir tersendak. “Malas,” jawab saya begitu saja meluncur tanpa berpikir panjang. “Kenapa emang? Dapat nilai ujian jelek lagi di kelas?” Tidak sulit bagi keluarga kami untuk menemukan sebab kenapa saya berwajah lesu. Paling tidak jauh dari urusan ujian di kelas. Begitu pikir mereka. “Dua soal tadi Ade kerjakan soal ujian matematika salah total, padahal gampang, ceroboh banget!” wajah saya semakin tertunduk, kali ini rasanya ingin sekali menceburkan muka ke semangkuk sop di depan mata.
Kakak kembali menimpali dengan santai, mukanya tidak tampak khawatir. “ Terus yang delapan soal sisanya gimana?” “Hmm, yang 8 soal tadi kayanya sih benar” saya kembali menyuapkan sesendok nasi ke mulut meski nafsu makan telah menghilang mengingat kesalahan yang telah saya perbuat.
“Terkadang aneh memang pemikiran manusia” kakak menambahkan ucapannya dengan gayanya yang khas. Aku memandang wajah kakak dengan kacamata tebalnya yang sudah lekat sejak ia kelas 2 SD . Makin tebal saja kacamatanya! Dan saya pun kembali menimpali “Apa yang aneh?” “Iya aneh, dari 10 soal yang diujikan, hanya 2 salah, dan 8 soal lainnya kemungkinan benar. Kenapa yang dilihat hanya 2 soal yang salah, bukan mensyukuri yang 8 soal benar? ” Kakak berguman memasuki ruang dapur meletakkan piring kotornya. Jawaban yang tidak kuduga dari lelaki yang kini saya sadari telah tumbuh menjadi semakin bijak. Kalau sudah seperti itu gayanya persis seperti idolanya Albert Einstein yang tidak saja mengabadikan pemikiran logika yang mendalam kepada dunia tapi juga meninggalkan sederet kalimat-kalimat bijak yang dikenang dari generasi ke generasi.
Kakak benar. Kenapa pikiran saya hanya tertuju pada 2 yang salah? Padahal Allah sudah memberi kemudahan sehingga 8 soal sisanya yang saya kerjakan kemungkinan benar. Dan jumlah soal yang benar itu lebih banyak!
Kejadian kali itu meski singkat, membekas dalam pikiran saya hingga kini. Benar kata orang bahwa saat-saat disekolah, tidak peduli jurusan apa yang nanti kita ambil saat kuliah kelak, adalah waktu paling berharga untuk membangun kedewasaan kita dalam berfikir. Benar adanya bahwa dalam kehidupan ini terkadang manusia merasa frustasi dengan keadaan yang tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan, mengeluh karena ujian yang begitu berat, meratap kesalahan yang kita perbuat atau sekedar iri melihat orang lain berhasil. Hey, kenapa tidak ubah sudut pandangnya? Bukankah ujian yang Allah berikan tidak seberapa dengan nikmat yang Ia berikan. Sudah lupakah saya saat itu akan begitu banyak nikmat yang Tuhan berikan sehingga begitu mudah mentangisi kegagalannya yang kecil?
Saya menghela nafas panjang. Maka sejak saat itu, setiap kali terjatuh dan mulai mengeluhkan kegagalan yang terjadi, kata-kata kakak 12 tahun silam kembali mengangkat semangat saya yang luruh. Semoga saya selalu ingat kalimat ini hingga nanti, “Dalam hidup jangan melihat hanya sedikit kegagalan yang terjadi, syukuri apa yang sudah berhasil kita capai. Jadi, jangan lagi mengkhawatirkan yang 2, mulai saat ini tegakkan kepala dan lihatlah 8 dari 10!”
“Be happy, not because everything is good, but because you can see the good side of everything. (unknown)”
that’s right. gara2 dipusingkan dengan hal2 yang kecil, terkadang kita lupa bersyukur dengan nikmat yang jauh lebih besar yang kita dapat.
have a nice day. ^^
Hi Esti, makasih sudah mampir ke insideourminds :D. Betul, ini nasihat dari Kakak waktu dulu masih jaman2nya ujian di SMP dan masih teringat sampai sekarang :)) he2. Have a nice day too ti, gmana kabar Esti di sana?long time no see