Membantu Anak untuk Berkonsentrasi

 

Pernah suatu kali saya memperkenalkan konsep warna kepada Dzaky (anak saya yang saat itu berusia 18 bulan). Ia saat itu tengah asyik bermain bola-bola dengan warna beraneka ragam di dalam tenda. “Dzaky, Ini bola biru, merah, hijau, kuning…”, sembari menunjuk bola satu persatu sesuai dengan warnanya. “Dzaky, bola biru mana bola biru?”. Dzaky yang saat itu tengah sibuk bermandikan bola warna-warni itu, tetap saja melanjutkan aktivitasnya.

Pernah pula saya membaca seorang kawan mengeluhkan anaknya yang sulit berkonsentrasi saat sedang bermain Montessori dimana dibutuhkan konsentrasi untuk menyelesaikan suatu task.

Nah apa penyebabnya?

Seperti yang telah dibahas dalam artikel parenting sebelumnya, konsentrasi berperan penting dalam membantu anak belajar. Jika anak tidak berfokus terhadap objek yang dipelajarinya maka pembentukan mental image yang akan ditransfer ke otak juga tidak akan mudah. Tapi haruskan anak dipaksa untuk belajar dan berkonsentrasi?

Seperti dalam kasus di atas, Dzaky sedang asyik mengeksplore bola-bola warna-warni dan saya tiba-tiba menyuruhnya untuk berkonsentrasi. Tentu saja membuat anak di usia 1-2 tahun untuk berkonsentrasi bukan perkara mudah.

Nah berikut ini ada empat tips yang saya baca dari buku karangan Ken Adams untuk membantu anak untuk berkonsentrasi:

  1. Carilah area di rumah yang sepi untuk menunjang aktivitas belajar: televisi, radio, dan suara orang disekitar dapat mengganggu konsentrasi untuk belajar. Berdirilah dekat anak untuk memotivasi dia belajar.
  2. Jika Anda ingin memerintah anak untuk melakukan sesuatu, panggil nama anak anda sebelum kalimat perintah dan buat kontak mata. Ini akan membuat anak memperhatikan anda dan membuat anak Anda lebih responsive terhadap apa yang anda ucapkan.
  3. Pastikan anak anda jauh dari gangguan yang berpontensi mengganggu konsentrasi seperti mainan, atau saudara/teman sebayanya. Nah dalam kasus di atas terdapat berbagai mainan yang mengelilingi Dzaky, sehingga wajar jika Ia berfokus pada mainan lain.
  4. Jika Anda mengatakan sesuatu yang penting, minta anak anda untuk mengulanginya untuk menggaris bawahi point utamanya. Bicara dekat dengan anak merupakan salah satu ide yang baik.

Selain itu, Adams juga menambahkan beberapa point penting:

  1. Anak umunya tidak bisa sekaligus belajar banyak hal dalam satu waktu. Untuk pengenalan konsep warna misalnya, dibutuhkan repetisi berulang-ulang hingga anak sadar maknanya. Biasanya dibutuhkan kurang lebih satu minggu dengan pengulangan berkali-kali hingga anak mengerti. Dalam kasus saya tadi, saya memperkenalkan terlalu banyak warna dalam satu waktu :). Terlebih untuk anak usia 1-2 tahun pengenalan nama objek seperti warna bukanlah hal yang utama, karena menurut Adams biasanya proses pengenalan nama warna dilakukan setelah anak dapat menguasai teknik sorting (proses mengurutkan benda). Seperti mengurutkan berdasarkan bentuk (contohnya : “ayo masukkan benda- benda yang bulat ke dalam box”, dsb. Dan ternyata Dzaky lebih mudah memasukkan benda-benda sejenis ke dalam box daripada mengucapkan warna benda satu-persatu dengan tepat di usianya saat ini.
  2. Agar anak dapat mengenali nama objek dengan lebih cepat, jangan lupa untuk menggunakan kata tersebut dalam percakapan sehari-hari dan mengasosiakannya dengan benda yang serupa. Pernah suatu kali saya memperkenalkan bahwa kereta api berbunyi “tuuut tuuut tuuut” sambil memberikan kereta api dari kayu kepada Dzaky. Suatu kali saat ia membaca buku dan melihat ada gambar kereta api, diluar dugaan ia berkata “tuuut tuuut tuuut”. Artinya saat itu Ia sudah dapat mengasosiasikan benda sejenis. Dengan kata lain, pembentukan mental image sebelumnya sudah tersimpan di otaknya dan proses recalling information sudah berhasil.

img_20160217_165401.jpg

Nah untuk menjawab pertanyaan apakah anak harus dipaksa untuk konsentrasi? Menurut [2], jika anak belum mampu menyelesaikan task tertentu maka jangan dipaksa karena artinya belum waktunya. Pada dasarnya anak akan mampu belajar pada saatnya. Tugas kita sebagai orang tua adalah menyediakan lingkungan belajarnya serta mengantarkanya menjadi pribadi yang mampu berfikir dan bertindak secara independent dan bertanggung jawab. 🙂

“The child’s development follows a path of successive stages of independence, and our knowledge of this must guide us in our behaviour towards him. We have to help the child to act, will and think for himself. This is the art of serving the spirit, an art which can be practised to perfection only when working among children.” (Mario Montessori-The Absorbent Mind, p. 257)

Semoga bermanfaat.

Cheers,

Medria

Referensi

[1] Adams, Ken. Bring out the genius in your child. Ward Lock, 1997

[2] Lillard, Paula Polk, and Lynn Lillard Jessen. Montessori from the start: The child at home, from birth to age three. Schocken, 2008.

Leave a Reply