Sebuah catatan kecil (2 tahun) perjalanan kami

“Berdasarkan novel-novel, kalau kita memiliki mimpi  tuliskan  mimpi itu dikertas dan tempelkan di dahi seperti ini,” suara suami tiba-tiba terdengar memecah keheningan di rumah kecil kami di Hackett.

Beberapa detik kemudian, saya tertawa terpingkal-pingkal melihat sebuah kertas tertempel tepat di dahinya. Meski hanya berasal dari cerita novel, tampaknya alur cerita yang dengan cerdas dibawakan oleh penulis Buku 5 cm itu telah memberi inspirasi besar baginya.

“Kita buat saja buku impian, kalau kita punya mimpi maka gambarkan mimpi itu dibuku, dan mudah-mudahan dengan melihatnya kita bisa termotivasi untuk mencapainya, gimana?” ujarnya antusias.  Saya mengangguk sepakat.

Tidak lama setelah itu kami memutuskan untuk membeli buku sketsa kosong dan mulai menempeli buku impian kami dengan gambar tempat-tempat yang ingin kami kunjungi dan impian-impian besar kami di masa depan.  Semua tempat-tempat yang ingin kami datangi serta milestones yang ingin kami capai tertata rapi di dalam buku berukuran 30cmx20 cm itu.

Kalaupun mimpi itu tidak terwujud, setidaknya kami telah berani bermimpi. Kalaupun Allah berkehendak lain, setidaknya kami telah berani berencana. Dan tugas kami sejak 2 tahun yang lalu, saat ini, dan dimasa yang akan datang , adalah berjuang sekuat tenaga untuk mencapainya.

InsyaAllah. 🙂

dream book
Our dream book. “Hold fast to dreams For if dreams die Life is a broken-winged bird That cannot fly ( Langston Hughes)”.

Writing Camp with Asma Nadia (Canberra, Sept 30th 2012)

with one of the most inspiring writers, Mbak Asma Nadia (left)
2 AM, 4 hours after we went back from the Writing Camp

Alhamdulillah, hari ini kami (saya dan suami yang kebetulan panitia) mendapat kesempatan berharga untuk bertemu Mbak Asma Nadia dalam acara Writing Camp yang diadakan di Carotel Motel. Motel ini kebetulan terletak dekat dengan kediaman kami di Hackett dan berada kurang lebih 20 hektar di sudut Aspinall & Zelling Street, Watson.  Mbak Asma Nadia adalah penulis Indonesia yang saya kenal melalui karyanya yang menjadi best seller National “Sakinah Bersamamu”. Salah satu buku inspiratif yang diperkenalkan pertama kali oleh suami saat kami  mencari novel  di salah satu toko buku di Bogor. Buku itu  alhamdulillah telah menjadi novel pendamping setia saya di sela-sela kesibukan mengerjakan penelitian sejak 1 tahun silam. Continue reading “Writing Camp with Asma Nadia (Canberra, Sept 30th 2012)”

Ketika Surgaku Berpindah (Part:How we met)

Ketika surgaku berpindah

[dropcap style=”2″ size=”3″]R[/dropcap]uas-ruas jalan yang ramai itu masih lekat dalam benakku hingga kini. Hingar bingar cahaya lampu yang terpancar dari kendaraan yang melintasi jalan ibu kota itu tampak berpendar menyambut senja. Rasio kendaraan dan ukuran jalan yang tidak sepadan membuat laju kendaraan mobil  yang kami tumpangi tidak lebih cepat dari arus pejalan kaki yang melintas di bahu jalan. Siapa tidak kenal Jakarta pikirku.  Pemandangan khas yang sudah melekat dalam masyarakat dan membuatku tidak lagi tercengang.  Tidak pernah terlintas dalam benak saat itu bahwa berpuluh-puluh kilometer dari tempat kami berada, sahabat baikku sedang menjalankan sebuah misi yang kini kusadari telah membawa perubahan besar dalam hidup.

*** Continue reading “Ketika Surgaku Berpindah (Part:How we met)”

Sekolah 5 Senti

Oleh: Rhenald Kasali *

Setiap kali berkunjung ke Yerusalem, saya sering tertegun melihat orang-orang Yahudi orthodox yang penampilannya sama semua. Agak mirip dengan China di era Mao yang masyarakatnya dibangun oleh dogma pada rezim otoriter dengan pakaian ala Mao. Di China, orang-orang tua di era Mao jarang senyum, sama seperti orang Yahudi yang baru terlihat happy saat upacara tertentu di depan Tembok Ratapan. Itupun tak semuanya. Sebagian terlihat murung dan menangis persis di depan tembok yang banyak celahnya dan di isi kertas-kertas bertuliskan harapan dan doa.

Perhatian saya tertuju pada jas hitam, baju putih, janggut panjang dan topi kulit berwarna hitam yang menjulang tinggi di atas kepala mereka. Menurut Dr. Stephen Carr Leon yang pernah tinggal di Yerusalem, saat istri mereka mengandung, para suami akan lebih sering berada di rumah mengajari istri rumus-rumus matematika atau bermain musik. Mereka ingin anak-anak mereka secerdas Albert Einstein, atau sehebat Violis terkenal Itzhak Perlman.

Continue reading “Sekolah 5 Senti”

How We Found Each Other

“Sometimes the world tries to knock it out of you. But I believe in music the way that some people believe in fairy tales. I like to imagine that what I hear came from my mother and father. Maybe the notes I hear, are the same ones they heard, the night they met. Maybe that’s how they found each other. Maybe that’s how they’ll find me. I believe that once upon a time, long ago, they heard the music and followed it.”

— (August Rush)

We were classmates at the same university for about 3 years, majoring the same field of study, Computer Science.  Even we were in the same class, we never really talked to each other. Sometimes, I saw him couple of times, but we never had any serious conversation. I never knew that the person that I saw in class that time, will be the one that God chooses for me to accompany me in sadness and happiness. We used to live in our own world. He was busy building his own, and so did I. We never knew each other because our world was separated. Although we were far, both of us coloured our world with the same passion.  We do love anything related to art and technology. Maybe, then our worlds met. We used to spend the time sharing about ideas, knowledge, memories through the internet and never really talked to each other in the real life. Then in March 8th, 2010, he came to my parents and said that he wanted to take care of me and that was the first time we really met.

Continue reading “How We Found Each Other”